RE-ORIENTASI FASILITATOR KELURAHAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh  : Buono

 

Dengan re-orientasi faskel diharapkan kegiatan PNPM-MP kembali pada jalurnya sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang menggali dan menjadikan sumber daya masyarakat desa/kelurahan (SDA maupun SDM) sebagai problem solving pengentasan kemiskinan.

 

            Keberhasilan transfer ide dalam rangka perubahan paradigma tersebut sangat dipengaruhi oleh keseriusan faskel dalam pendampingan masyarakat. Totalitas faskel dalam usaha-usaha  pemberdayaan masyarakat (baca LKM dan lembaga dibawahnya) akan lebih cepat berhasil menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam orientasi pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan faskel yang hanya berorientasi pada proyek. Dua sisi yang tidak bisa dilepaskan dari kegiatan PNPM-MP adalah sisi proyek dan sisi pemberdayaan, yang cenderung saling  bertolak belakang dalam pelaksanaanya. Sisi proyek mengedepankan target pencapaian kegiatan sesuai dengan alokasi waktu yang ditetapkan oleh konsultan, sehingga cenderung  meninggalkan  sisi pemberdayaan masyarakat.

            Totalitas faskel dalam pendampingan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam transfer ide pemberdayaan masyarakat yaitu :

  1. Kejelasan nasib dan keberadaan faskel dalam pendampingan desa/kelurahan. Faskel yang bekerja dengan sistem kontrak per enam bulan, tentu saja mengurangi totalitas mereka dalam mendampingi masyarakat, apalagi pembayaran honor yang sering terlambat, munculnya isu pengurangan faskel terutama faskel CD makin menambah down semangat mereka dalam pendampingan masyarakat.
  2. Faktor berikutnya adalah kesungguhan faskel tersebut untuk benar-benar mentransfer ilmu mereka (baca pengetahuan) terutama dalam hal administrasi (pembuatan proposal, pembuatan lpj, pembuatan laporan keuangan dan administrasi lainnya) dan manajemen LKM.
  3. Faktor lainnya adalah proses rolling faskel yang dilakukan oleh konsultan menjadikan program berjalan stagnan untuk jangka waktu tertentu, tergantung dari proses adaptasi dan pola kerja faskel baru tersebut (faskel pengganti) dengan masyarakat yang didampinginya, sehingga sering dijumpai adanya penolakan faskel oleh beberapa LKM/BKM berkenaan dengan  cara kerja mereka yang berbeda dengan faskel sebelumnya. Istilah jawanya “Kajog”.

         Melihat fakta-fakta diatas maka diperlukan re-orientasi faskel dalam mendampingi masyarakat, yaitu :

  1. Menjadi agen perubahan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat bukan proyek semata.
  2. Kerelaan untuk transfer pengetahuan secara utuh dan menyeluruh, sebagai implikasinya  rela untuk “tidak dibutuhkan lagi” manakala LKM/BKM sudah “benar-benar” mandiri.
  3. Menjadi motivator bagi LKM/BKM, hal ini sangat penting bagi LKM yang seringkali down menghadapi berbagai masalah yang berhubungan langsung dengan mereka, baik konflik dengan masyarakat desa/kelurahan masing-masing maupun masalah  yang berhubungan dengan administrasi kegiatan. Motivasi ini deberikan kepada mereka sesuai dengan kebutuhan dan pola fikir masyarakat.
  4. Membangun kedekatan personal dengan LKM/BKM  yang profesional.
  5. Membangun hubungan kerja yang terbuka dengan cara mengembangkan komunikasi yang baik berkenaan dengan tupoksi masing-masing pihak.

 

         Dengan re-orientasi faskel ini diharapkan kegiatan PNPM-MP kembali pada jalurnya sesuai sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang menggali dan menjadikan sumber daya masyarakat desa/kelurahan (SDA maupun SDM) sebagai problem solving pengentasan kemiskinan.

Ayo bangkit bersama  untuk mandiri.

 

Penulis adalah relawan PNPM-MP di Kabupaten Pekalongan.

 

VISI BKM TUNAS KARYA MANDIRI

GUYUP RUKUN SAIYEG SAEKO PROYO MBANGUN DESANE

 
Make a Free Website with Yola.